Oleh: Kunaifi
Riau Pos, 23 Oktober 2007
udul artikel ini mengutip Daoed Joesoef dalam sebuah tulisannya di Kompas. Menurut Daoed, penyebab bencana ekologis adalah karena generasi kita tidak memiliki etika masa depan.
Kita yang lahir sekitar tujuh puluh hingga dua puluh tahun lalu adalah generasi beruntung. Pernah merasakan segarnya udara setiap membuka jendela di pagi hari. Juga bisa menikmati nyanyian merdu burung-burung bagai simfoni penggetar kalbu. Bila hendak mencari rambutan Cina atau kayu bakar, misalnya, cukup berjalan kaki kurang dari setengah jam, kita pun sampai kita ke hutan lebat.
Tapi, anak-anak yang lahir sepuluh tahun belakangan menemukan dunia yang berbeda. Bagi mereka, terutama yang tinggal di kota, kicauan burung lebih mudah ditemukan di layar komputer, atau di sangkar-sangkar tergantung di sebagian rumah tetatangga. Memang bisa saja kalau mau mendengar langsung di hutan, tapi kini hutan sungguh jauh. Apalagi udara segar, anak-anak kini akrab dengan udara berbau minyak pelumas, walaupun tak disadari karena biasa. Lalu, bumi seperti apa yang dijumpai generasi duapuluh tahun ke depan? Kemungkinan jawabannya yaitu, bumi yang mengerikan!
Kenaikan suhu bumi (global warming) telah menjadi perhatian dunia sejak beberapa dekade belakangan. Industralisasi dituding sebagai penyebab utama. Salah satu akibatnya ialah mencairnya es di kutub yang berakibat naiknya permukaan laut, yang pada gilirannya menyebabkan abrasi kawasan pantai. El-Nino, Badai Katrina dan Badai Rita yang menggulung Amerika baru-baru ini diduga sebagai akibat global warming. Yang paling mudah dideteksi ialah, udara terasa semakin panas. Tahun 2005 dilaporkan sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah bumi. Kita yang hidup di Riau, belum merasakan akibat langsung pemanasan global. Tapi bukan berarti kita aman.
Foto: http://www.buzzle.com/articles/environmental-ethics.html
Pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janerio 1992, terjadi aksi saling tuding antara negara-negara peserta. Negara berkembang mengeluhkan emisi karbon pabrik-pabrik dan kendaraan bermotor di negara-negara maju. Sebaliknya, negara maju menuduh negara berkembang tidak menjaga kelestarian hutannya sebagai paru-paru dunia. Apakah tudingan negara maju beralasan?
Menurut aktivis Greenpeace Grant Rosoman, Hutan Surgawi (paradise forest), yang membentang dari Asia Tenggara, melintasi Indonesia hingga Papua Nugini dan Kepulauan Solomon, kini mengalami kerusakan tercepat di dunia. Sekitar 72 persen terjadi di Indonesia.
Bagaimana Riau? Susanto Kurniawan dari Jikalahari mengatakan, kerusakan hutan Riau adalah yang tertinggi di dunia, 3,2 juta hektare dalam 20 tahun terakhir. Kini hutan alam Riau tersisa sekitar 1 juta hektare. Dengan tingkat kerusakan mencapai 16 ribu hektare per tahun, hutan Riau punah sekitar 6 tahun lagi. Pada saat itu, kita hidup bergelimang bencana. Sampai di sini, kisah ini mulai menggambarkan tragedi, padahal kita belum bicara tingkat polusi air, tanah dan udara yang tidak kurang parahnya. Bumi seperti apa yang kita tinggalkan untuk anak-cucu? Tergantung apa yang kita lakukan kini.
Upaya penyelamatan lingkungan telah banyak dilakukan, terutama kalangan LSM. Sudah terlalu banyak tinta tertuang sejak seperempat abad ini, suara juga semakin parau. Namun langkah ini nampak terseok-seok dibandingkan tingkat kerusakan yang terus meluas. Di Prancis, gerakan sadar lingkungan dimulai tahun 60-an. Di Indonesia dan dunia ketiga lainnya relatif baru dimulai. Masalah ini dianggap penting sehingga pemerintah membentuk Kementerian Lingkungan Hidup. Penanaman pohon, proyek kebersihan, penghargaan lingkungan, lomba kebersihan, dan sebagainya sudah dilakukan. Tapi kepentingan lain, terutama ekonomi selalu berhasil menggilas upaya penyelamatan lingkungan. Nah kini tiba-tiba dunia terkejut! Ternyata alam sudah sedemikian parahnya.
Dulu, alam dan manusia hidup secara harmonis. Tapi kini, homo industrialus ini mengambil posisi berhadapan langsung secara diametral dengan alam, menjadi musuh tak tertaklukkan. Kepentingan ekonomi mendorong pengusaha perkayuan menebang hutan secara membabi-buta, juga meringankan tangan pemerintah mengeluarkan izin-izin bagi eksploitasi hutan-hutan alam. Dan, setiap upaya hukum bagi para perusak lingkungan ini selalu saja berputar-putar di tempat yang sama. Padahal bumi sudah sakit.
Philippe Vaquette dalam Le Guide De L’Educateur Nature mengatakan, sebagaimana manusia membutuhkan dokter karena suatu penyakit, bumi juga membutuhkan “dokter” untuk alasan yang sama. Idealnya, dokter baik ialah dokter yang membantu pasien mencegah penyakit. Tapi kini lupakan itu! Dokter yang diperlukan lingkungan kita adalah yang bisa mengobati penyakit kronis stadium tertinggi.
Obat terbaik yang bisa diresepkan “dokter” lingkungan adalah mengupayakan lahirnya generasi sadar lingkungan. Karena tak mungkin berharap banyak dari generasi kini. Tumpuan harapan ialah anak-anak yang kini bermain di taman kanak-kanak, atau bayi-bayi yang belajar merangkak, bahkan janin-janin di dalam perut ibunya. Dengan terpaksa —dan tega—, ke pundak-pundak kecil dan masih lemah ini akan kita timpakan beban berat itu. Mereka akan memutus mata rantai dengan masa lalu, kemudian membangun masa depannya sendiri. Walaupun terlambat, waktu memulainya adalah kini. Semakin ditunda, kita akan melakukan lebih banyak intervensi dibandingkan perlindungan terhadap alam.
Diyakini bahwa generasi baru itu akan lahir dari proses pendidikan. Pendidikan ekologi yang ditanamkan ke sistem berfikir generasi mendatang akan membentuk kesadaran tentang peran penting mereka sebagai “dokter bumi”. Pendidikan lingkungan bukanlah persoalan sederhana, sehingga cukup puas bila melatih anak-anak membuang sampah pada tempatnya. Pendidikan lingkungan ialah penetrasi mental tentang paradigma baru yaitu “etika masa depan.” Kesadaran ini mesti hadir dalam pola pikir dan wujud dalam setiap gerak inderawi. “Anak-anak mesti mulai diajak ke semak-semak,” demikian ungkap Philippe Vaquette.
Akhirnya, tanpa bermaksud memperberat kurikulum pendidikan, muatan Ekologi harus segera bergaung di sekolah-sekolah. Alih-alih dikenang sebagai pewaris masalah, dengan upaya ini generasi kita masih punya satu harapan kecil, untuk diingat sebagai penabur benih manusia masa depan yang bijak lingkungan, bukan hanya generasi yang rakus pada alam.
Sebagai penutup, Grant Rosoman mengatakan, “tingkat kepunahan spesies tumbuhan dan hewan saat ini kira-kira seribu kali lebih cepat dibanding zaman sebelum bumi dihuni manusia. Dan diperkirakan akan mencapai sepuluh ribu kali lebih cepat tahun 2050.” Lalu kita hubungkan dengan kalimat Daoed Joesoef, “di bumi Indonesia ada banyak spesies terancam punah, bahkan ada yang sudah punah. Jika perusakan lingkungan tidak segera dihentikan, maka satu spesies menyusul punah, spesies manusia.”***